Selasa, 04 Januari 2011

Peringatan Republik Yogya Keempat


YOGYAKARTA - Untuk mengenang pindahnya pemerintahan pusat dari Jakarta ke Yogyakarta, 4 Januari 1946 lalu, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM menggelar peringatan Republik Yogya.

Menurut penasehat PKKH UGM Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A.(K) peringatan Republik Yogya tersebut digelar, Selasa 4 Januari 2011 di PKKH UGM. Acara yang sebenarnya telah diadakan empat kali sejak 2007 itu nantinya akan diisi dengan stadium generale (kuliah umum) oleh sejarawan UGM Prof. Dr. Suhartono Wiryopranoto.

“Beliau ini bahkan mempunyai beberapa dokumen foto penting terkait peran Kraton dan Yogyakarta atas kemerdekaan Indonesia,” papar Sutaryo kepada wartawan di ruang Fortakgama UGM, Senin (3/1/2011).

Sutaryo mengatakan peringatan pindahnya Ibukota NKRI dari Jakarta ke Yogyakarta sebelumnya telah diadakan pada 2007, 2008, 2009, dan awal 2011 ini. Acara ini, imbuh Sutaryo, sekaligus mengingatkan kepada generasi muda dan para pemimpin bangsa bahwa Yogyakarta pernah menjadi ibukota NKRI.

“Berdirinya UGM sendiri juga berhubungan dengan pindahnya Ibukota NKRI dari Jakarta ke Yogyakarta waktu itu,” katanya.
Dalam acara yang akan dihadiri oleh para guru besar, dosen, mahasiswa, pegawai, hingga masyarakat umum itu selain untuk mengingatkan kembali peran dan jasa Yogyakarta dalam sejarah perjuangan, sekaligus untuk meneguhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang saat ini banyak dikikis oleh berbagai persoalan multidimensi.
“Kalau kita berkaca dengan peristiwa itu maka Indonesia bisa kuat melalui persatuan dan kesatuan semua elemen,” papar dokter spesialis anak itu.
Sutaryo memberikan bukti nyata peran dan perjuangan masyarakat Yogyakarta pada waktu itu. Jumlah masyarakat Yogyakarta yang tewas berjuang waktu itu mencapai lebih dari 2.718 orang, 539 orang hilang, dan 736 orang luka-luka.
Waktu itu, berita kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 diterima oleh kantor Domei Yogyakarta. Sri Sultan HB IX dan Pakualam VIII langsung mengirim ucapan selamat atas berdirinya RI dan terpilihnya Ir. Sukarno serta Drs. Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Selain itu, berita proklamasi juga disiarkan lewat kotbah Jumat di Masjid Besar Kauman.
“Sore harinya, Ki Hajar Dewantara bersama murid-murid Tamansiswa juga memberitakan kemerdekaan Indonesia. Jadi, memang tidak main-main jasa Yogyakarta pada saat itu,” kata Sutaryo.
Kraton Yogyakarta dibawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki andil besar dalam sejarah berdirinya NKRI. Bahkan saat agresi militer Belanda ke II saat Yogyakarta diserang Belanda pada 1949 dan banyak pimpinan negara yang ditawan Belanda, Sultan bahkan menyiapkan pemerintahan darurat.

Namun Yogyakarta kembali bisa direbut dalam perang rakyat 1 Maret 1949 dan pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta. Pada 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta tiba kembali di Yogyakarta dari pengasingan dan pada 17 Desember 1949 di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta, Soekarno dikukuhkan sebagai Presiden RI.
"Bahkan, saat itu Sultan menyerahkan dana enam juta gulden untuk menjalankan pemerintahan Indonesia kepada Soekarno, karena pemerintah memang belum memiliki dana untuk menjalankan roda pemerintahan," tegasnya.
Di tempat yang sama, pengurus PKKH yang juga menjabat Wakil Dekan Urusan Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM Drs. Arief Akhyat, M.A menambahkan bahwa keistimewaan Yogyakarta bukan saja dari sisi politis, namun juga ekonomi, sosial, budaya, pendidikan hingga religi. Demokrasi di Yogyakarta sudah lama berjalan dengan baik sehingga rakyatnya pun hidup aman, tenteram dan damai.

“Lihat saja bagaimana dibangunnya beberapa tempat ibadah seperti klentheng yang bisa berdampingan dengan masjid atau gereja waktu itu. Sementara di daerah lain itu menciptakan konflik,” kata Arief.
(lam) sumber : www.okezone.com